Beberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan adanya fenomena Sudirman yang disulap bak arena peragaan busana jalanan. Beragam pro dan kontra pun muncul mengiringi setiap pemberitaan yang tentu saja semakin meningkatkan daya jual event tersebut. Banyak sekali kelompok masyarakat berbondong-bondong turut meramaikan. Tidak hanya dari kalangan selebritas, bahkan beberapa tokoh pemimpin daerah pun turut serta dalam mempromosikan pagelaran tidak biasa itu.
Namun ada yang miris dari fenomena tersebut. Keberadaan para remaja putus sekolah dan juga bebasnya pergaulan diantara mereka menjadi catatan tersendiri bagi dunia pendidikan kita. Tidak hanya itu, bermunculannya "kaum pelangi" yang seolah tidak risih dengan identitasnya pun menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar orangtua. Memang separah itukah moralitas remaja saat ini?
Remaja sebagai generasi pelanjut merupakan aset berharga bagi sebuah negara. Kemajuan serta eksistensi negara di masa depan akan ditentukan oleh generasi mudanya saat ini. Apa yang akan terjadi pada bangsa ini jika generasi penerusnya lemah akal, kisut mental dan bobrok moral. Sedangkan untuk bisa mencetak generasi bangsa berprofil Pancasila (beriman, berakhak mulia, berkebinekaan dan bergotong royong), tentunya ketiga modal tadi sagatlah diperlukan. Modal akal yang sehat, mental yang kuat serta moral yang beradab. Sehingga penting kiranya bagi sebuah institusi pendidikan semacam sekolah untuk memfasilitasi terselenggaranya pembinaan ketiga modal tersebut.
SMK BPI sebagai salah satu lembaga pendidikan berbasis vokasi telah lama berkomitmen dalam mewujudkan hal tersebut. Tidak hanya mencetak lulusan yang kompeten secara akademik, tetapi juga berkarakter Pancasila. Diawali dengan diselenggarakannya kegiatan Do’a Pagi yang dilakukan setiap hari sebelum memulai aktifitas pembelajaran. Kemudian kegiatan Bintalis (Bina Mental Islam) yang rutin dilaksanakan setiap hari Jumat. Yang mana dari kedua kegiatan tersebut harapannya bisa menjadi jalan implementasi sila pertama Pancasila. Yakni Berketuhanan Yang Maha Esa.
Sempat terpikir, kenapa Sila pertama Pancasila harus “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kenapa harus berTuhan dulu baru bisa beradab? Atau kenapa harus berTuhan terlebih dahulu baru bisa saling membantu dan bersatu? Ternyata jika merefleksi dari kelima susunan butir Pancasila, beriman/berketuhanan menjadi pondasi dasar seseorang bisa beradab dan menerima kebhinekaan. Sebagaimana halnya bangsa Arab dulu semasa jaman jahiliyah. Dari yang awalnya merupakan bangsa yang diliputi kebodohan (jahiliyah) dikarenakan prilaku dan adat istiadatnya cenderung mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Pasca “berkeTuhanan Yang Maha Esa”, menjadi bangsa yang berbudi luhur dan memiliki rasa toleransi tinggi. Bahkan menjadi bangsa pertama yang menolak rasisme dan mempromosikan kesetaraan. Sehingga dari sana bisa disimpulkan bahwa profil Remaja Pancasila yang pertama dan paling utama adalah harus beriman/ berketuhanan.
Saat sesorang sudah terkoneksi kuat dengan Tuhannya, dalam artian yakin (iman) dengan keberadaan Tuhannya, maka tanpa tedeng aling aling hidupnya akan senantiasa menjelma menjadi insan beradab yang mulia. Bersikap adil dengan sendirinya sekalipun tidak ada yang memperhatikannya. Menghormati orang lain dengan perbedaanya karena yakin demikian juga yang diharapkan oleh Penciptanya. Pokoknya suasana bermasyarakat akan terasa sangat kondusif ketika masing-masing pemeluk agama saling menyelaraskan hidupnya dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhannya.
Maka dari itu keberadaan Bintalis sebagai sarana pembangun mental dan moral pelajar di lingkung BPI ibarat oase ditengah gempuran arus globalisasi moral. Karena yang dibutuhkan pelajar tidak hanya hard skill dan soft skill, tetapi juga spiritual skill yang mana menjadi landasan terwujudnya kedua skill tadi.