Senin, 29 Desember 2014

(Potongan Hikmah) The Last Sequel of Hobbit; The Battle of Five Armies


Entah bawaan psikologis atau memang dari sisi film yang banyak mengandung unsur dramatis, yang jelas sekuel terakhir film The Hobbit, The Battle of Five Armies, menjadi salah satu film yang berhasil membuat air mata saya bercucuran di bulan Desember ini. Bukan karena romantika si Dwarf-Killy dan si Elf-Tauriel yang terpisah oleh kematian, akan tetapi lebih tepatnya terharu oleh adegan heroik yang banyak ditampilkan di film ini.


Dimulai dari sikap para kesatria Dwarf yang dengan kekerasan hatinya menentang titah rajanya, Thorin Oakenshield, yang saat itu memilih bersikap pengecut ketimbang ikut berperang membantu saudaranya. Para kesatria Dwarf, yang saat itu diwakili Kill, mengatakan bahwa bangsa mereka terlahir sebagai petarung yang empati terhadap saudaranya, bukan malah sebaliknya. Sehingga dengan turut ke medan pertempuranlah, maka diri mereka bisa dikatakan memiliki kehidupan yang sesungguhnya. Dalam artian sesuai dengan apa yang diinginkan oleh nenek moyangnya. Atau sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan untuknya. Menetapi fitrahnya.

Adegan selanjutnya, adalah saat si Hobbit Bilbo Baggins berusaha untuk menetralkan semua kekacauan yang asal mulanya disebabkan oleh penyakit naga yang menyerang Thorin Oakenshield. (Penyakit Naga = Rakus akan emas dan harta benda). Dengan tidak mengindahkan tubuhnya yang mungil dan ketidak piawaiannya dalam mempergunakan senjata, Bilbo si Hobbit terus maju tanpa gentar melakukan upaya pendamaian yang jelas-jelas membahayakan hidupnya sendiri. Keinginannya untuk bisa mengembalikan kehidupan di bumi seperti sedia kala (aman, damai, makmur dan sejahtera) sangatlah kuat, sehingga  segala ketidak berdayaan fisik dan skill yang ada pada dirinya terkalahkan oleh niatan baik dan ikhlas yang ada dalam hatinya. Orientasi jelas, usaha keras maka ketidak berdayaan pun dengan sendirinya terkelupas.  

Kemudian ada adegan dimana Thorin Oakenshield, yang saat itu sudah terbebas dari penyakit naga dan turut serta ke medan pertempuran, berencana untuk memenggal kepala panglima pasukan bangsa Orc, Azog.  Dengan mengambil jalan yang sangat membahayakan, Thorin ditemani oleh para kesatria terbaiknya, Kill dan Fill pergi ke puncak bukit untuk menemui Azog secara langsung. Walaupun tindakan tersebut bisa dibilang konyol, akan tetapi dengan kehadiran dua kesatria terbaiknya yang tidak pernah merasa takut, membuat Thorin percaya diri memenangkan pertarungan. Karakter dua kesatria terbaik yang sungguh berani, loyal dan dapat diandalkan oleh pemimpinnya.

Sebetulnya masih banyak nilai-nilai positif yang bisa diambil dari film The Hobbit 3 ini. Malah kalau dilihat hampir dari keseluruhan cerita di film ini penuh dengan pesan moral kemanusiaan, rasa persatuan, serta keberanian untuk memerangi berbagai macam ketimpangan. Walaupun tidak pernah ada yang tahu tujuan dibalik pemutaran film The Hobbit (1-3) ini, akan tetapi cukup diambil hikmahnya saja. ^^

Thank’s for my sista Rizki Andini who accompanied me for watching this. Luv you..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar