Entah bawaan psikologis atau memang dari sisi film yang banyak mengandung unsur dramatis, yang jelas sekuel terakhir film The Hobbit, The Battle of Five Armies, menjadi salah satu film yang berhasil membuat air mata saya bercucuran di bulan Desember ini. Bukan karena romantika si Dwarf-Killy dan si Elf-Tauriel yang terpisah oleh kematian, akan tetapi lebih tepatnya terharu oleh adegan heroik yang banyak ditampilkan di film ini.
Dimulai dari sikap para
kesatria Dwarf yang dengan kekerasan hatinya menentang titah rajanya, Thorin
Oakenshield, yang saat itu memilih bersikap pengecut ketimbang ikut berperang
membantu saudaranya. Para kesatria Dwarf, yang saat itu diwakili Kill,
mengatakan bahwa bangsa mereka terlahir sebagai petarung yang empati terhadap
saudaranya, bukan malah sebaliknya. Sehingga dengan turut ke medan
pertempuranlah, maka diri mereka bisa dikatakan memiliki kehidupan yang
sesungguhnya. Dalam artian sesuai dengan apa yang diinginkan oleh nenek
moyangnya. Atau sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan untuknya. Menetapi
fitrahnya.
Adegan selanjutnya,
adalah saat si Hobbit Bilbo Baggins berusaha untuk menetralkan semua kekacauan
yang asal mulanya disebabkan oleh penyakit naga yang menyerang Thorin
Oakenshield. (Penyakit Naga = Rakus akan emas dan harta benda). Dengan tidak
mengindahkan tubuhnya yang mungil dan ketidak piawaiannya dalam mempergunakan
senjata, Bilbo si Hobbit terus maju tanpa gentar melakukan upaya pendamaian yang
jelas-jelas membahayakan hidupnya sendiri. Keinginannya untuk bisa mengembalikan
kehidupan di bumi seperti sedia kala (aman, damai, makmur dan sejahtera)
sangatlah kuat, sehingga segala ketidak
berdayaan fisik dan skill yang ada pada dirinya terkalahkan oleh niatan baik
dan ikhlas yang ada dalam hatinya. Orientasi jelas, usaha keras maka ketidak
berdayaan pun dengan sendirinya terkelupas.
Kemudian ada adegan
dimana Thorin Oakenshield, yang saat itu sudah terbebas dari penyakit naga dan
turut serta ke medan pertempuran, berencana untuk memenggal kepala panglima pasukan
bangsa Orc, Azog. Dengan mengambil jalan
yang sangat membahayakan, Thorin ditemani oleh para kesatria terbaiknya, Kill
dan Fill pergi ke puncak bukit untuk menemui Azog secara langsung. Walaupun
tindakan tersebut bisa dibilang konyol, akan tetapi dengan kehadiran dua
kesatria terbaiknya yang tidak pernah merasa takut, membuat Thorin percaya diri
memenangkan pertarungan. Karakter dua kesatria terbaik yang sungguh berani,
loyal dan dapat diandalkan oleh pemimpinnya.
Sebetulnya masih banyak
nilai-nilai positif yang bisa diambil dari film The Hobbit 3 ini. Malah kalau dilihat
hampir dari keseluruhan cerita di film ini penuh dengan pesan moral
kemanusiaan, rasa persatuan, serta keberanian untuk memerangi berbagai macam
ketimpangan. Walaupun tidak pernah ada yang tahu tujuan dibalik pemutaran film
The Hobbit (1-3) ini, akan tetapi cukup diambil hikmahnya saja. ^^
Thank’s for my sista
Rizki Andini who accompanied me for watching this. Luv you..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar